Powered By Blogger

Selasa, 29 Mei 2012

Fenomena Korupsi di Indonesia

Fenomena korupsi telah menjadi persoalan yang berkepanjangan dan menjadi 'lingkaran setan' di Indonesia. Bahkan negara kita memiliki rating yang tinggi dalam hal tindakan korupsi. Korupsi telah merongrong nilai-nilai kerja keras, kebersamaan, dan tenggang rasa di antara masyarakat.               Korupsi menciptakan manusia Indonesia yang mudah mengambil jalan pintas dan mengikis kepedulian terhadap nasib dan penderitaan sesama khususnya rakyat kecil yang tidak sempat untuk menikmati atau memiliki kesempatan untuk korupsi.
Sebaagian orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagian lain menyatakan bahwa korupsi belum membudaya, walaupun harus diakui korupsi telah sangat meluas. Sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003 : 42), mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Bahkan dari laporan Bank Dunia itu (Ibid : 50), menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain. Pada masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada pengusaha-pengusaha besar dan membangun konglomerat-konglomerat baru dan memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas, bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi dan birokrat.
Sejak lepasnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan korupsi belum juga tertangani dengan baik. Niat untuk memberantas korupsi cukup kuat. Berbagai peraturan dan reformasi perundang-undangan tentang korupsi dilahirkan, tapi tidak membawa hasil yang memadai. Bahkan banyak korupsi baru yang terungkap justeru terjadi setelah masa reformasi. Fenomena ini membuat kita bertanya kembali dari sisi filsafat, sebenarnya apa yang terjadi dengan korupsi, mungkinkah kita salah mengartikan tentang apa yang dianggap korupsi dan apa yang tidak korupsi. Kita perlu berpikir kembali tentang aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi dari korupsi.
 Tindakan korupsi seolah bukanlah sebuah tindakan yang diharamkan lagi oleh agama manapun sebab kecenderungan korupsi telah merasuki hati dan menjadi suatu perbuatan yang terbiasa dilakukan oleh para pejabat publik di negeri ini, dan tidak menganggapnya sebagai kejahatan.
 Dan yang lebih mengerikan, tindakan korupsi menjadi hal yang diwariskan pada setiap generasi, bahkan seorang yang ketika berada di luar lingkungan jabatan publik berperan sebagai salah satu pihak yang antikorupsi, namun saat dipercaya menjadi bagian dalam pemerintahan, akan terbawa arus dan turut tergoda melakukannya tanpa rasa malu dan canggung.

Korupsi berasal dari kata corrupti (bahasa Latin) yang berarti busuk, rusak atau dalam bentuk kata kerja corrumpere yang berarti menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
 Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur: perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); penggelapan dalam jabatan; pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara); menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). Dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Dengan demikian korupsi merupakan tindakan seorang pejabat publik untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. Tindakan itu merugikan pihak lain atau umum (negara). Pejabat publik melakukan tindakan korupsi dengan sebuah kesadaran yang dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk membahagiakan dirinya atau kelompoknya. Masalah korupsi telah lama menimpa bangsa Indonesia.

Korupsi juga telah melanggar etika politik. Etika politik merupakan salah satu segi nilai yang patut dikembangkan dalam sebuah negara. Jika para pejabat negara tidak mampu menciptakan sebuah kebudayaan politik yang baik maka kebudayaan politik akan menjadi rusak. Sebuah cita-cita politik yang etis harus mampu menciptakan sebuah masyarakat yang sejahtera.
 Kesejahteraan bukan hanya monopoli orang-orang tertentu, kelompok atau etnis tertentu tetapi seluruh rakyat. Korupsi sebagai salah satu bentuk penyelewengan terhadap cita-cita sebuah masyarakat yang sejahtera dan merata. Sebab korupsi menciptakan penumpukkan kekayaan pada pribadi, kelompok tertentu. Hanya pihak-pihak atau orang tertentulah yang mampu menikmati kelimpahan kekayaan.
Mentalitas korupsi yang mendarah daging bukanlah sifat hakiki yang ada dalam manusia. Mentalitas ini pada dasarnya tercipta oleh mentalitas modern seperti budaya konsumtif, easy going, tidak mau bekerja keras, dan lain-lain.
Sikap mental inilah yang harus benar-benar dilenyapkan dari diri pribadi setiap individu, selain diperlukannya penegakkan hukum yang kuat, tanpa pandang bulu dan tebang pilih. Pertanyaannya, siapa yang mau benar-benar menghilangkan sikap mental tersebut dan juga menegakkan hukum secara adil, jika mereka sudah merasakan nikmatnya korupsi dengan kesempatan yang sangat luas. Pada akhirnya, masyarakat kecil lah yang semakin hari semakin terpuruk karena kebejatan moral para pengelola negara, mereka hanya bisa tersenyum getir menyaksikan sandiwara politik yang dilakonkan para pejabat publik yang setiap hari dihadirkan media massa. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak cukup mampu mengatasi semua ini, jika orang-orang yang berada di dalamnya juga memiliki moral yang sama rendahnya dengan pelaku korupsi itu sendiri. KPK hanya menjadi lembaga simbolis yang berdiri untuk sekedar melaksanakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Singing Hatsune Miku